Rembulan di hati Ifa
"Uh!" Ifa tersedak asap. Sebuah mobil melintas dengan kencang dan meninggalkan awan debu di belakangnya.
Matahari begitu terik, bahkan angin yang bertiup pun terasa panas di wajah Ifa.
Biasanya, hari-hari seperti ini ia akan memacu langkah, mencoba menggulung jarak yang memisahkannya dari rumah. Bayangan segelas air dan naungan atap membuatnya tak sabar ingin segera sampai. Tapi siang ini Ifa justru melangkah perlahan, sesekali mendesah, sambil membayangkan seandainya saja perjalanan pulang ini tidak usah pernah berakhir. Jika saja waktu bisa berhenti saat ini dan di sini, supaya Ifa tak perlu sampai di rumah dan berhadapan lagi dengan beban yang memberati hatinya.
Pagi tadi Ibu ngomel lagi. Sebabnya cuma karena Ifa lupa menyediakan kopi untuk ayah. Padahal mestinya Ibu kan faham, pekerjaan Ifa banyak. Memandikan Husna, adiknya yang belum dua tahun, menyiapkan seragam untuk dirinya dan Shofa, adiknya yang lain, menyapu, menyiram tanaman, belum lagi mencuci piring dan membantu ibu menyiapkan sarapan.
Lagi pula, kenapa sih ayah begitu diutamakan? Toh Ayah nggak akan kemana-mana. Justru Ifa yang harus bersiap ke sekolah. Pertanyaan yang cuma bisa ia ungkapkan di dalam hati saja.
Di depan ibunya, Ifa tak akan berani bertanya seperti itu. Ibu bisa marah besar, atau lebih parah lagi, Ibu bisa menangis dan mendiamkannya berhari-hari.
Dulu.. dan itupun cuma sekali, Ibu pernah mengajaknya bicara soal ini.
Saat itu menjelang kepulangan Ayah dari rumah sakit, Ibu mengajak Ifa bicara berdua. Kata Ibu, Ifa harus lebih dewasa, lebih sayang kepada adik-adik, dan bersabar menghadapi Ayah. Ayah sedang sakit, dan mungkin tidak akan sembuh untuk waktu yang lama.
Ifa masih ingat benar, tepat sebulan sebelum ulang tahunnya yang ke 10, mereka duduk di beranda rumah. Berdua mereka memandang rembulan yang sedang purnama. Kata Ayah, sejak Ifa lahir ke dunia, Ayah seperti punya rembulan di dalam hatinya. Ayah selalu bilang begitu setiap mereka melihat rembulan yang sedang bulat sempurna, tapi Ifa tidak pernah bosan. Ifa suka berlama-lama memandang ke langit, menatap rembulan dan menyimpannya di dalam hati.
Saat itu Ayah berjanji, kalau nilai rapor Ifa bagus, di ulang tahunnya nanti Ayah akan memberikan hadiah yang selama ini Ifa inginkan : sebuah sepeda mini. Dan mereka sekeluarga akan berlibur ke puncak. Tapi ternyata bukan sepeda dan liburan yang Ifa dapatkan, tapi kabar sedih. Ayah sakit, dan harus dirawat di rumah sakit.
Kemudian semuanya jadi berbeda. Kehidupan mereka tidak lagi seperti dulu. Ifa tahu, tidak akan ada lagi sepeda untuknya, liburan ke puncak, bahkan akhirnya Ifa harus pindah sekolah karena mereka pindah rumah. Ayah juga berbeda. Tidak ada lagi Ayah yang tegas tapi penyayang, Ayah yang lucu, Ayah yang selalu jadi panutan untuk Ifa. Tidak ada lagi malam-malam di beranda rumah, menatap rembulan dan bercerita.
(bersambung..)
Matahari begitu terik, bahkan angin yang bertiup pun terasa panas di wajah Ifa.
Biasanya, hari-hari seperti ini ia akan memacu langkah, mencoba menggulung jarak yang memisahkannya dari rumah. Bayangan segelas air dan naungan atap membuatnya tak sabar ingin segera sampai. Tapi siang ini Ifa justru melangkah perlahan, sesekali mendesah, sambil membayangkan seandainya saja perjalanan pulang ini tidak usah pernah berakhir. Jika saja waktu bisa berhenti saat ini dan di sini, supaya Ifa tak perlu sampai di rumah dan berhadapan lagi dengan beban yang memberati hatinya.
Pagi tadi Ibu ngomel lagi. Sebabnya cuma karena Ifa lupa menyediakan kopi untuk ayah. Padahal mestinya Ibu kan faham, pekerjaan Ifa banyak. Memandikan Husna, adiknya yang belum dua tahun, menyiapkan seragam untuk dirinya dan Shofa, adiknya yang lain, menyapu, menyiram tanaman, belum lagi mencuci piring dan membantu ibu menyiapkan sarapan.
Lagi pula, kenapa sih ayah begitu diutamakan? Toh Ayah nggak akan kemana-mana. Justru Ifa yang harus bersiap ke sekolah. Pertanyaan yang cuma bisa ia ungkapkan di dalam hati saja.
Di depan ibunya, Ifa tak akan berani bertanya seperti itu. Ibu bisa marah besar, atau lebih parah lagi, Ibu bisa menangis dan mendiamkannya berhari-hari.
Dulu.. dan itupun cuma sekali, Ibu pernah mengajaknya bicara soal ini.
Saat itu menjelang kepulangan Ayah dari rumah sakit, Ibu mengajak Ifa bicara berdua. Kata Ibu, Ifa harus lebih dewasa, lebih sayang kepada adik-adik, dan bersabar menghadapi Ayah. Ayah sedang sakit, dan mungkin tidak akan sembuh untuk waktu yang lama.
Ifa masih ingat benar, tepat sebulan sebelum ulang tahunnya yang ke 10, mereka duduk di beranda rumah. Berdua mereka memandang rembulan yang sedang purnama. Kata Ayah, sejak Ifa lahir ke dunia, Ayah seperti punya rembulan di dalam hatinya. Ayah selalu bilang begitu setiap mereka melihat rembulan yang sedang bulat sempurna, tapi Ifa tidak pernah bosan. Ifa suka berlama-lama memandang ke langit, menatap rembulan dan menyimpannya di dalam hati.
Saat itu Ayah berjanji, kalau nilai rapor Ifa bagus, di ulang tahunnya nanti Ayah akan memberikan hadiah yang selama ini Ifa inginkan : sebuah sepeda mini. Dan mereka sekeluarga akan berlibur ke puncak. Tapi ternyata bukan sepeda dan liburan yang Ifa dapatkan, tapi kabar sedih. Ayah sakit, dan harus dirawat di rumah sakit.
Kemudian semuanya jadi berbeda. Kehidupan mereka tidak lagi seperti dulu. Ifa tahu, tidak akan ada lagi sepeda untuknya, liburan ke puncak, bahkan akhirnya Ifa harus pindah sekolah karena mereka pindah rumah. Ayah juga berbeda. Tidak ada lagi Ayah yang tegas tapi penyayang, Ayah yang lucu, Ayah yang selalu jadi panutan untuk Ifa. Tidak ada lagi malam-malam di beranda rumah, menatap rembulan dan bercerita.
(bersambung..)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home