Tuesday, May 03, 2005

Kehilangan.
Rasa apa lagi yang lebih buruk dari itu?
Seperti sesuatu terenggutkan dari dalam rongga dada. Sakit. Hampa.

Sampai saat ini belum pernah aku merasakan sesuatu sepahit ini. Selama ini hidupku selalu terlindung. Selalu ada tangan-tangan yang siap menangkapku ketika aku jatuh, selalu ada kasih sayang yang menaungiku setiap kali aku sendiri. Sesuatu yang hilang selalu tergantikan. Sesuatu yang hancur selalu terbarukan.

Tuesday, December 14, 2004

Rembulan di hati Ifa (2)

"Kakak pulang!.. kakak pulang!!"
Sepasang kaki kecil tak beralas kaki berlari tertatih menyongsong Ifa. Tanpa terasa, ia sudah sampai di gang depan rumahnya. Si kecil Husna menyambutnya, dan bergayut manja di lengan Ifa.
Sejenak berat tubuh si kecil terasa seperti menarik dirinya ke dasar bumi, membawanya ke saat ini dan mengingatkannya pada setumpuk tugas yang menanti di dalam rumah nanti.

Hampir saja Ifa menghardik, tapi wajah kecil bersaput debu itu menatapnya sambil tersenyum. Hatinya luluh. Biar bagaimanapun, Husna selalu jadi bunga di hatinya. Walau sesekali, ketika ia benar-benar lelah dan ingin sendiri, ia marah dan mengelakkan pelukan si kecil, tapi saat ini, ketika hati Ifa terasa sunyi dan berat, pelukan itu seperti sebuah kekuatan. Ifa tahu ia membutuhkan Husna, lebih dari kapanpun.

"Main apa sayang?" tanyanya lembut sambil mengangkat tubuh si kecil. Kaki Husna menapakkan debu di atas rok merahnya, tapi Ifa tak peduli.

Rembulan di hati Ifa

"Uh!" Ifa tersedak asap. Sebuah mobil melintas dengan kencang dan meninggalkan awan debu di belakangnya.
Matahari begitu terik, bahkan angin yang bertiup pun terasa panas di wajah Ifa.
Biasanya, hari-hari seperti ini ia akan memacu langkah, mencoba menggulung jarak yang memisahkannya dari rumah. Bayangan segelas air dan naungan atap membuatnya tak sabar ingin segera sampai. Tapi siang ini Ifa justru melangkah perlahan, sesekali mendesah, sambil membayangkan seandainya saja perjalanan pulang ini tidak usah pernah berakhir. Jika saja waktu bisa berhenti saat ini dan di sini, supaya Ifa tak perlu sampai di rumah dan berhadapan lagi dengan beban yang memberati hatinya.

Pagi tadi Ibu ngomel lagi. Sebabnya cuma karena Ifa lupa menyediakan kopi untuk ayah. Padahal mestinya Ibu kan faham, pekerjaan Ifa banyak. Memandikan Husna, adiknya yang belum dua tahun, menyiapkan seragam untuk dirinya dan Shofa, adiknya yang lain, menyapu, menyiram tanaman, belum lagi mencuci piring dan membantu ibu menyiapkan sarapan.

Lagi pula, kenapa sih ayah begitu diutamakan? Toh Ayah nggak akan kemana-mana. Justru Ifa yang harus bersiap ke sekolah. Pertanyaan yang cuma bisa ia ungkapkan di dalam hati saja.
Di depan ibunya, Ifa tak akan berani bertanya seperti itu. Ibu bisa marah besar, atau lebih parah lagi, Ibu bisa menangis dan mendiamkannya berhari-hari.
Dulu.. dan itupun cuma sekali, Ibu pernah mengajaknya bicara soal ini.

Saat itu menjelang kepulangan Ayah dari rumah sakit, Ibu mengajak Ifa bicara berdua. Kata Ibu, Ifa harus lebih dewasa, lebih sayang kepada adik-adik, dan bersabar menghadapi Ayah. Ayah sedang sakit, dan mungkin tidak akan sembuh untuk waktu yang lama.

Ifa masih ingat benar, tepat sebulan sebelum ulang tahunnya yang ke 10, mereka duduk di beranda rumah. Berdua mereka memandang rembulan yang sedang purnama. Kata Ayah, sejak Ifa lahir ke dunia, Ayah seperti punya rembulan di dalam hatinya. Ayah selalu bilang begitu setiap mereka melihat rembulan yang sedang bulat sempurna, tapi Ifa tidak pernah bosan. Ifa suka berlama-lama memandang ke langit, menatap rembulan dan menyimpannya di dalam hati.
Saat itu Ayah berjanji, kalau nilai rapor Ifa bagus, di ulang tahunnya nanti Ayah akan memberikan hadiah yang selama ini Ifa inginkan : sebuah sepeda mini. Dan mereka sekeluarga akan berlibur ke puncak. Tapi ternyata bukan sepeda dan liburan yang Ifa dapatkan, tapi kabar sedih. Ayah sakit, dan harus dirawat di rumah sakit.

Kemudian semuanya jadi berbeda. Kehidupan mereka tidak lagi seperti dulu. Ifa tahu, tidak akan ada lagi sepeda untuknya, liburan ke puncak, bahkan akhirnya Ifa harus pindah sekolah karena mereka pindah rumah. Ayah juga berbeda. Tidak ada lagi Ayah yang tegas tapi penyayang, Ayah yang lucu, Ayah yang selalu jadi panutan untuk Ifa. Tidak ada lagi malam-malam di beranda rumah, menatap rembulan dan bercerita.

(bersambung..)

Tuesday, June 29, 2004

Teman baru Farah (2)

Tulisan sebelumnya disini

Keluar dari toilet sekolah, Farah merasa sedikit lega. Ia ingat kata Ibu, "Menangis sedikit boleh, supaya perasaan kita jadi ringan." Ah, teringat Ibu membuat Farah ingin segera pulang. Ibu pasti tahu apa yang harus dilakukan kalau Farah merasa tidak enak begini.

"Farah!" sebuah suara mengejutkannya. Ternyata itu Uti dan Nurma, teman sekelas.
"Tunggu dong, kami mau tanya sesuatu nih!" kata Uti sambil berlari-lari melintasi halaman sekolah, Nurma di belakangnya. Mereka berdua memang sahabat karib sejak kelas satu dulu. Rumah mereka juga berdekatan, dan kemana-mana mereka selalu terlihat berdua, persis seperti Farah dan Syifa. Uh, teringat Syifa Farah jadi ingin menangis lagi.

"Begini Farah," kata Uti setelah mendekat. "Kami punya tebak-tebakan."
Nurma tertawa-tawa di belakang Uti "Iya, dan kami yakin kamu nggak akan bisa menjawab yang satu ini."
Uti dan Nurma memang paling suka main tebak-tebakan, tapi mereka suka penasaran kalau tebakan mereka terjawab dengan mudah. Farah tersenyum, "Belum tentu. Aku kan raja menebak." kata Farah menggoda mereka. Uti memeletkan lidah, dan Nurma tertawa lagi. Nurma memang anak yang suka tertawa, dan tawanya itu membuat teman yang melihat ingin ikut tertawa juga. "Dengar ya, tebakannya begini.." kata Uti "Sapi apa yang warnanya ungu?"
Farah berpikir sebentar "Mmm... sapi apa yaa..? Sapi dicat ungu?"
"Tuh kan, Farah nggak tau." kata Nurma, masih tertawa. "Jawabannya sapidol ungu! Hihihi.."
Uti juga tertawa, dan mereka berdua menepukkan sebelah tangan mereka tanda kemenangan.
"Kita ada tebakan lain nih, coba ya.." kata Uti lagi.
Biasanya, berdua dengan Syifa, Farah akan berusaha sungguh-sungguh menebak teka-teki yang diberikan Uti dan Nurma. Tapi kali ini ia tidak begitu bersemangat. Hatinya masih sedikit kecewa kepada Syifa, bahkan melihat Uti dan Nurma tertawa bersama-sama begitu, membuat Farah makin sedih saja. Tapi karena teka-teki Uti dan cara tertawa Nurma memang lucu, akhirnya Farah ikut tertawa-tawa juga.
Nurma dan Uti masih memberikan beberapa tebakan lain, sampai tak terasa, bel tanda masuk kelas pun berbunyi. Mereka bertiga bergegas kembali ke kelas.

Mereka masih tertawa ketika masuk ke kelas. Di bangkunya, Farah melihat Syifa dan Asti masih bercakap-cakap berdua. Kegembiraan yang dirasakan Farah segera menguap. Apalagi ketika Syifa memandang ke arahnya, dan terlihat kurang senang. "Kok kamu lama sekali sih?" kata Syifa setelah Farah sampai di bangkunya. Ia diam saja. "Asti tadi kan mau lihat koleksi kita. Waktu istirahat jadi habis deh."
Farah mengangkat bahu, "Aku kan ke kamar mandi. Masa nggak boleh sih?" katanya tak peduli.

Sepanjang pelajaran itu Syifa jadi cemberut. Farah tidak berusaha membujuk atau minta maaf. Biar saja, lagipula Syifa kan lebih suka Asti, pikirnya kesal.

Pulang sekolah, Syifa sudah lupa marahnya. Ia memang begitu, tidak suka menyimpan kemarahan lama-lama. Itu salah satu sifat baik Syifa yang membuat Farah suka sekali bermain dengannya. Tapi Farah sendiri belum bisa membuang perasaan sakit di hatinya, sebab ketika bel pulang berbunyi, Syifa langsung bilang "Yuk kita ajak Asti pulang bareng, nanti kita tunjukkan jalan ke rumah kita supaya Asti bisa main sama-sama sepulang sekolah nanti."
Karena kesal, Farah tadi sampai hampir lupa kalau usul mengajak pulang bersama itu awalnya ide Farah sendiri. Ia mengangguk, walaupun wajahnya tidak tersenyum.

Rupanya Syifa dan Asti tidak merasa perubahan sikap Farah. Mereka tetap saja asik bercanda dan bercakap-cakap, sementara Farah makin lama makin merasa tersisih. Perjalanan pulang yang biasanya menyenangkan sekarang jadi terasa lama dan membosankan.

Sampai di rumah, Farah merasa sangat lelah. Ia ingin segera bertemu Ibu. Entah kenapa setiap kali hatinya sedih, ia selalu ingin dipeluk-peluk oleh Ibu, seperti dulu ketika Farah masih kecil. Kakak sampai suka mengejek "Pengen jadi anak kecil lagi tuh!" Uh, kalau sudah begitu, Farah paling cuma memeletkan lidah saja.

"Ibu, Assalamu'alaikum!" teriak Farah begitu masuk ke dalam rumah.
"Wa'alaikumussalam." terdengar suara dari ruang belajar, ternyata Ibu sedang menulis di sana.
Ketika Farah sampai di depan pintu, Ibu menoleh dan tersenyum "Masa teriak-teriak begitu sih?"
Farah menghampiri Ibu dan berdiri di belakangnya, memeluk leher Ibu dari belakang. Hmm.. rambut ibu wangi sekali. Ibu membelai kepala Farah, "Ganti baju dulu, nanti ibu temani makan."

(masih belum selesai)