Tulisan sebelumnya disini
Keluar dari toilet sekolah, Farah merasa sedikit lega. Ia ingat kata Ibu, "Menangis sedikit boleh, supaya perasaan kita jadi ringan." Ah, teringat Ibu membuat Farah ingin segera pulang. Ibu pasti tahu apa yang harus dilakukan kalau Farah merasa tidak enak begini.
"Farah!" sebuah suara mengejutkannya. Ternyata itu Uti dan Nurma, teman sekelas.
"Tunggu dong, kami mau tanya sesuatu nih!" kata Uti sambil berlari-lari melintasi halaman sekolah, Nurma di belakangnya. Mereka berdua memang sahabat karib sejak kelas satu dulu. Rumah mereka juga berdekatan, dan kemana-mana mereka selalu terlihat berdua, persis seperti Farah dan Syifa. Uh, teringat Syifa Farah jadi ingin menangis lagi.
"Begini Farah," kata Uti setelah mendekat. "Kami punya tebak-tebakan."
Nurma tertawa-tawa di belakang Uti "Iya, dan kami yakin kamu nggak akan bisa menjawab yang satu ini."
Uti dan Nurma memang paling suka main tebak-tebakan, tapi mereka suka penasaran kalau tebakan mereka terjawab dengan mudah. Farah tersenyum, "Belum tentu. Aku kan raja menebak." kata Farah menggoda mereka. Uti memeletkan lidah, dan Nurma tertawa lagi. Nurma memang anak yang suka tertawa, dan tawanya itu membuat teman yang melihat ingin ikut tertawa juga. "Dengar ya, tebakannya begini.." kata Uti "Sapi apa yang warnanya ungu?"
Farah berpikir sebentar "Mmm... sapi apa yaa..? Sapi dicat ungu?"
"Tuh kan, Farah nggak tau." kata Nurma, masih tertawa. "Jawabannya sapidol ungu! Hihihi.."
Uti juga tertawa, dan mereka berdua menepukkan sebelah tangan mereka tanda kemenangan.
"Kita ada tebakan lain nih, coba ya.." kata Uti lagi.
Biasanya, berdua dengan Syifa, Farah akan berusaha sungguh-sungguh menebak teka-teki yang diberikan Uti dan Nurma. Tapi kali ini ia tidak begitu bersemangat. Hatinya masih sedikit kecewa kepada Syifa, bahkan melihat Uti dan Nurma tertawa bersama-sama begitu, membuat Farah makin sedih saja. Tapi karena teka-teki Uti dan cara tertawa Nurma memang lucu, akhirnya Farah ikut tertawa-tawa juga.
Nurma dan Uti masih memberikan beberapa tebakan lain, sampai tak terasa, bel tanda masuk kelas pun berbunyi. Mereka bertiga bergegas kembali ke kelas.
Mereka masih tertawa ketika masuk ke kelas. Di bangkunya, Farah melihat Syifa dan Asti masih bercakap-cakap berdua. Kegembiraan yang dirasakan Farah segera menguap. Apalagi ketika Syifa memandang ke arahnya, dan terlihat kurang senang. "Kok kamu lama sekali sih?" kata Syifa setelah Farah sampai di bangkunya. Ia diam saja. "Asti tadi kan mau lihat koleksi kita. Waktu istirahat jadi habis deh."
Farah mengangkat bahu, "Aku kan ke kamar mandi. Masa nggak boleh sih?" katanya tak peduli.
Sepanjang pelajaran itu Syifa jadi cemberut. Farah tidak berusaha membujuk atau minta maaf. Biar saja, lagipula Syifa kan lebih suka Asti, pikirnya kesal.
Pulang sekolah, Syifa sudah lupa marahnya. Ia memang begitu, tidak suka menyimpan kemarahan lama-lama. Itu salah satu sifat baik Syifa yang membuat Farah suka sekali bermain dengannya. Tapi Farah sendiri belum bisa membuang perasaan sakit di hatinya, sebab ketika bel pulang berbunyi, Syifa langsung bilang "Yuk kita ajak Asti pulang bareng, nanti kita tunjukkan jalan ke rumah kita supaya Asti bisa main sama-sama sepulang sekolah nanti."
Karena kesal, Farah tadi sampai hampir lupa kalau usul mengajak pulang bersama itu awalnya ide Farah sendiri. Ia mengangguk, walaupun wajahnya tidak tersenyum.
Rupanya Syifa dan Asti tidak merasa perubahan sikap Farah. Mereka tetap saja asik bercanda dan bercakap-cakap, sementara Farah makin lama makin merasa tersisih. Perjalanan pulang yang biasanya menyenangkan sekarang jadi terasa lama dan membosankan.
Sampai di rumah, Farah merasa sangat lelah. Ia ingin segera bertemu Ibu. Entah kenapa setiap kali hatinya sedih, ia selalu ingin dipeluk-peluk oleh Ibu, seperti dulu ketika Farah masih kecil. Kakak sampai suka mengejek "Pengen jadi anak kecil lagi tuh!" Uh, kalau sudah begitu, Farah paling cuma memeletkan lidah saja.
"Ibu, Assalamu'alaikum!" teriak Farah begitu masuk ke dalam rumah.
"Wa'alaikumussalam." terdengar suara dari ruang belajar, ternyata Ibu sedang menulis di sana.
Ketika Farah sampai di depan pintu, Ibu menoleh dan tersenyum "Masa teriak-teriak begitu sih?"
Farah menghampiri Ibu dan berdiri di belakangnya, memeluk leher Ibu dari belakang. Hmm.. rambut ibu wangi sekali. Ibu membelai kepala Farah, "Ganti baju dulu, nanti ibu temani makan."
(masih belum selesai)