Tuesday, March 16, 2004

Marah

"Pokoknya nggak mau!"
Ifat membanting pintu dan berlari ke luar. Hampir saja ia menabrak Ibu yang membawa setumpuk cucian. "Ifat!" Ibu terkejut, tapi untung tidak sampai menjatuhkan cuciannya.

Masih terdengar suara Ais, kakaknya, yang mengadu kepada Ibu tentang pertengkaran mereka, sebelum Ifat keluar pagar dan menuju ke rumah Astri. Huh, dasar pengadu! batin Ifat makin jengkel.

Ais selalu saja menjengkelkan kalau sudah menyuruh-nyuruh Ifat melakukan ini dan itu. Hari ini Ais minta Ifat untuk membantunya merapikan kamar mereka, tapi Ifat sudah janjian dengan Astri. Ais memang rajin, dan Ifat bukannya tidak mau membantu, tapi ia sudah terlanjur berjanji untuk bermain dengan Astri siang ini. Mereka punya sesuatu yang mengasyikkan untuk dilakukan. Astri baru saja mendapatkan buku baru, penuh gambar dan cerita yang bagus, dan mereka berencana untuk membuat poster dari gambar di buku itu, untuk dipasang di kelas. Astri bahkan sudah berjanji untuk menyiapkan kertas dan cat air. Mereka berdua sudah tidak sabar untuk mengerjakannya, dan tidak ada yang mereka bicarakan selama seharian tadi selain ini.

Ais selalu saja tidak mau mengerti bahwa pekerjaan Ifat pun sama pentingnya dengan pekerjaan Ais. Entah kenapa, setiap kali selalu saja Ifat harus mengalah dan mengikuti perintah Ais. Padahal kan sebagai kakak mestinya Ais yang mengalah.

Malam harinya, ketika Ifat sudah berbaring di tempat tidur, Ibu masuk ke kamar dan duduk di tepi tempat tidur Ifat.
"Ifat mau cerita, kenapa tadi siang marah seperti itu?" tanya Ibu lembut.
Ifat duduk, dan menundukkan kepalanya. Tadi siang rasanya puas sekali berteriak pada Ais dan membanting pintu seperti itu, tapi sekarang, setelah semuanya berlalu, Ifat justru merasa sudah berbuat salah. Rasanya tidak enak sekali. Bahkan akhirnya Ifat tidak lama bermain di tempat Astri, hatinya tidak tenang.

"Ais sudah cerita, tapi ibu ingin dengar cerita Ifat juga." kata Ibu lagi.
Ifat memandang wajah Ibu. Ibu tidak kelihatan sedang marah, bahkan tatapannya lembut sekali. Ifat ragu-ragu memulainya "Ais.. mengganggu Ifat."
Ifat cepat-cepat melanjutkan. "Ais menyuruh Ifat membantu membersihkan kamar, tapi Ifat sudah janji mau ke rumah Astri."
Ibu masih diam, menunggunya melanjutkan cerita.

"Ifat sudah bilang, akan bantu tapi nanti. Tapi Ais nggak mau dengar."
Ibu mengusap kepala Ifat "Ifat bilang baik-baik?"
Ia mengangguk, "Ais malah bilang Ifat malas, maunya main terus dan nggak pernah bantu Ibu. Ifat kan nggak begitu, Ifat bantu ibu di dapur, Ifat bantu Ais menyapu."

"Lalu Ifat marah?" tanya Ibu lagi.
Ifat mengangguk pelan. "Soalnya Ais nggak mau ngerti, janji Ifat kan penting juga. Ifat kan nggak mau dibilang pembohong sama Astri kalau nggak jadi datang."
"Kan bisa dibicarakan baik-baik, tidak perlu marah dan membanting pintu." kata Ibu.
Ifat tertunduk, malu. Rasanya memang menyesal, marah-marah seperti tadi siang.
"Habis Ais terus-terusan bilang Ifat anak malas. Padahal Ifat nggak pernah bilang Ais malas meskipun Ais jarang bantu Ibu di dapur."
Ais memang kurang suka pekerjaan dapur, tapi soal bersih-bersih, Ifat kalah jauh. Meskipun begitu, tetap saja Ifat tidak rela dibilang malas.

Ibu tersenyum "Ibu sudah bicara sama Ais soal ini. Ifat benar, Ifat tidak malas, cuma memang kalau main, Ifat suka lupa waktu kan?"
Ifat diam. Ibu tidak salah, Ifat suka lupa waktu kalau sedang main ke rumah teman, terutama Astri. Kadang sampai Ibu harus menelepon ke rumah Astri, mengingatkannya untuk segera pulang. Habis, waktu berjam-jam kan nggak terasa kalau kita sedang asik.
"Tapi Ifat kan sudah janji Bu." Ifat berusaha membela diri, walaupun dalam hati membenarkan kata-kata Ibu. Ibu sepertinya juga tahu apa yang Ifat rasakan, jadi Ibu cuma tersenyum.
"Ibu tidak meminta Ifat melanggar janji. Janji harus ditepati. Tapi Ifat harus belajar mengatur waktu juga, jangan sampai main setiap hari. Kalian kan harus belajar juga, dan Astri juga pasti harus membantu Ibunya sesekali." kata Ibu.
Ifat terdiam.
"Lalu soal marah. Bagaimana ?" tanya ibu.
Ifat menjawab pelan "Ifat kan nggak suka dibilang malas, Bu."

"Soal itu, Ais memang salah." kata Ibu "Ibu sudah bicarakan dengan Ais, dan Ais sudah berjanji akan minta maaf dan tidak lagi menyebut Ifat malas lagi."
Ibu menghela nafas "Tapi ini bukan pertama kalinya kan, Ifat marah begitu?"

(.. 2b continued.. )

Thursday, March 11, 2004

Kakek sayang

Pulang sekolah, rumah terasa sepi sekali. Ibu dan Adil pergi ke tempat nenek sejak seminggu yang lalu karena nenek sakit. Ais dan Ifat tidak bisa ikut karena harus sekolah.
Kakak Ifat, Ais, belum pulang karena kelas 3 belajar sampai jam 12. Ada ayah di rumah, tapi ayah sedang sibuk menulis di ruang belajar. Jika ayah atau ibu sedang sibuk menulis, biasanya ibu meminta Ifat atau Ais mengajak Adil bermain supaya tidak mengganggu. Tapi kali ini Adil tidak ada, dan Ifat sedang tidak ingin bermain ke luar.

Jadi, Ifat menghampiri ayah di ruang belajar "Ayah, sedang apa?" tanya Ifat sambil meletakkan sikunya di tepi meja tempat ayah menulis.
Ayah menoleh "Ayah menulis untuk khutbah Jum'at."
"Ifat temani ya?" tanya Ifat lagi "Ifat kesepian nih."
Ayah tersenyum lebar "Wah, ayah senang sekali! Ayah juga kesepian sedikit. Nah, Ifat ambil kursi dan buku untuk dibaca ya, supaya tidak bosan."
Ifat mengangguk.

Selama beberapa menit Ifat tenggelam dalam bacaannya, sebuah buku tentang pangeran kecil, tapi tak lama kemudian ia mulai bosan berdiam diri. Apalagi suasana sepi sekali, sampai-sampai suara jam berdetik pun terdengar jelas, dan suara pulpen ayah menari-nari di atas kertas pun kedengaran jelas sekali. Ifat meletakkan buku dan melihat ke meja tempat ayah menulis. Ada setumpuk buku di sana, dan di antaranya ada buku sejarah Nabi.

"Ayah" katanya. Ayah cuma menyahut "Hmm?" tanpa berhenti menulis. "Apa ayah akan bercerita tentang Nabi Muhammad di khutbah nanti?"
Ayah berhenti sejenak dan berpikir "Mmm.. yaa.. kira-kira begitu."
Ifat melebarkan matanya, "Wah, asik sekali. Seperti dulu ya yah?"
Ayah menoleh dan tersenyum.

Dulu, waktu Ayah belum diangkat jadi manajer di perusahaannya, setiap malam sesudah sholat Isya, Ais dan Ifat selalu duduk di mushola mendengarkan Ayah bercerita. Ayah pintar sekali bercerita, dan ceritanya pun bermacam-macam, mulai kisah-kisah Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, kisah pahlawan, sampai kisah si kancil. Tapi sekarang ayah sering pulang malam, jadi tidak lagi sempat bercerita. Lagipula, Ais dan Ifat sudah terlalu besar untuk didongengi, dan sudah bisa membaca sendiri.
Hmm.. padahal menyenangkan sekali lho didongengi seperti itu.

"Yah, apa ayah dulu juga seperti kami? Maksud Ifat, apa kakek juga sering bercerita seperti ayah bercerita untuk Ifat dan kakak?"
Ayah meletakkan buku dan menoleh "Tidak juga. Kakek dulu tidak terlalu sering cerita. Beliau orang yang pendiam."

Ifat ingat kakek. Beliau memang tidak banyak berkata-kata. Ifat sering segan berdekat-dekat dengan kakek, karena kakek lebih sering diam. Dan orang yang selalu diam rasanya menakutkan buat Ifat.

Ifat menarik kursinya lebih dekat ke ayah. "Apa kakek tidak sayang ayah?"
Ayah tersenyum. "Tentu saja sayang. Cuma cara menunjukkannya saja yang berbeda dengan ayah." Ayah melepas kacamatanya. "Kakek selalu memperhatikan ayah dan paman, bekerja keras untuk kami sampai ayah dan paman bisa selesai kuliah, dan selalu menasehati kami agar jadi anak baik. Walaupun kakek tidak banyak bicara, tapi rasa sayangnya tidak kurang besar dibanding rasa sayang ayah kepada Ifat, Adil, maupun Ais."

Ifat terdiam sebentar dan memikirkan kata-kata ayah. Wah, Ifat tetap tidak bisa membayangkan Ayah jadi orang yang pendiam. Ayah sering bercerita dan bercakap-cakap dengan Ifat, Ais dan Adil. Rasanya akan sepi sekali kalau ayah jadi pendiam.

"Apakah kakek sayang Ifat, Ais dan Adil juga?"
Ayah mengangguk "Tentu saja. Bahkan kakek sayaang.. sekali."
"Seperti sayangnya nenek?"
Ayah mengangguk "Ya, seperti sayangnya nenek."

Beda dengan kakek, nenek Ifat sama sekali bukan orang pendiam. Seperti ayah, nenek jua suka cerita, atau kalau tidak bercerita, maka nenek akan sibuk menyuruh Ifat, Ais dan Adil makan ini-itu, atau mandi, atau apa saja. Pokoknya nenek tidak pernah diam. Ais dan Ifat, juga Adil dekat sekali dengan nenek. Mereka tahu betul, nenek begitu sayangnya pada cucu-cucunya, dan mereka pun sayang sekali kepada nenek. Kasihan nenek sekarang sakit, hmm... Ifat jadi ingin ketemu nenek.

"Tapi Ifat takut sama kakek karena kakek selalu diam. Kakek tidak banyak bercanda. Kalau ditanya jawabnya cuma 'Hmm' saja. Kalau kita ribut-ribut di dekat kakek, kakek suka bilang 'Sana main jauh-jauh'. Rasanya, tidak mungkin rasa sayang kakek sebesar nenek" kata Ifat.

Ayah tersenyum lagi. "Orang yang diam bukan berarti tidak sayang."
"Ifat ingat tidak, setiap kali ke rumah kakek dan nenek, selalu ada kelapa muda kesukaan Ifat?"
Ifat mengangguk. Kakek selalu tahu apa yang Ifat sukai, kelapa muda di siang yang panas, lampu kecil setiap malam di kamar supaya Ifat tidak takut, daun kelapa untuk membuat ketupat dan mainan. Bahkan kakek juga yang mengajari Ifat membuat ketupat, membuat seruling dari daun, dan kereta dari kulit jeruk bali. Kakek pandai sekali membuat mainan, dan suka mengajari mereka.

"Dan ketika Ais sakit, kakek malam-malam keluar rumah memanggil dokter?"
Ifat mengangguk lagi. Waktu itu Ais sakit demam tinggi, dan hari sudah malam benar. Apalagi di tempat kakek, malam rasanya datang lebih cepat dan pergi lebih lambat. Jalanan pun sepi sekali, tidak seperti di Jakarta. Kakek khawatir sekali, dan segera pergi memanggil dokter, padahal hari hujan dan kakek cuma bersepeda. Kakek memang baiii..k sekali.

"Atau ketika tiba-tiba kakek datang sendiri ke rumah kita dan membawa banyak oleh-oleh untuk Ais dan Ifat?" lanjut ayah.
Ifat mengangguk.
"Itu karena kakek benar-benar rindu, dan orang yang tidak sayang, tidak mungkin akan rindu." kata ayah.
Ifat terdiam dan berpikir, benar juga kata ayah. Kakek memang baik sekali. Dan kakek benar-benar sayang mereka.
Tiba-tiba Ifat jadi rindu kakek, rinduu.. sekali.
Dan kata ayah tadi, orang yang rindu tandanya sayang, berarti...

"Ayah" katanya kemudian "Rasanya Ifat juga sayaanng.. sekali sama kakek."
Ayah tersenyum dan mengusap rambut Ifat.
"Bagaimana kalau akhir pekan ini kita bertiga ke rumah kakek, menengok kakek dan nenek, sekaligus menjemput ibu? Ibu menelepon ayah pagi tadi. Kata ibu, nenek sudah sehat, dan ibu kangen Ifat sama Ais." Ifat hampir meloncat karena gembira.
"Betul ?" tanyanya tak percaya. Ayah mengangguk.
"Terimakasih ayah!" Ifat melompat dan memeluk ayahnya "Ifat sayang ayah juga" bisiknya.