Marah
"Pokoknya nggak mau!"
Ifat membanting pintu dan berlari ke luar. Hampir saja ia menabrak Ibu yang membawa setumpuk cucian. "Ifat!" Ibu terkejut, tapi untung tidak sampai menjatuhkan cuciannya.
Masih terdengar suara Ais, kakaknya, yang mengadu kepada Ibu tentang pertengkaran mereka, sebelum Ifat keluar pagar dan menuju ke rumah Astri. Huh, dasar pengadu! batin Ifat makin jengkel.
Ais selalu saja menjengkelkan kalau sudah menyuruh-nyuruh Ifat melakukan ini dan itu. Hari ini Ais minta Ifat untuk membantunya merapikan kamar mereka, tapi Ifat sudah janjian dengan Astri. Ais memang rajin, dan Ifat bukannya tidak mau membantu, tapi ia sudah terlanjur berjanji untuk bermain dengan Astri siang ini. Mereka punya sesuatu yang mengasyikkan untuk dilakukan. Astri baru saja mendapatkan buku baru, penuh gambar dan cerita yang bagus, dan mereka berencana untuk membuat poster dari gambar di buku itu, untuk dipasang di kelas. Astri bahkan sudah berjanji untuk menyiapkan kertas dan cat air. Mereka berdua sudah tidak sabar untuk mengerjakannya, dan tidak ada yang mereka bicarakan selama seharian tadi selain ini.
Ais selalu saja tidak mau mengerti bahwa pekerjaan Ifat pun sama pentingnya dengan pekerjaan Ais. Entah kenapa, setiap kali selalu saja Ifat harus mengalah dan mengikuti perintah Ais. Padahal kan sebagai kakak mestinya Ais yang mengalah.
Malam harinya, ketika Ifat sudah berbaring di tempat tidur, Ibu masuk ke kamar dan duduk di tepi tempat tidur Ifat.
"Ifat mau cerita, kenapa tadi siang marah seperti itu?" tanya Ibu lembut.
Ifat duduk, dan menundukkan kepalanya. Tadi siang rasanya puas sekali berteriak pada Ais dan membanting pintu seperti itu, tapi sekarang, setelah semuanya berlalu, Ifat justru merasa sudah berbuat salah. Rasanya tidak enak sekali. Bahkan akhirnya Ifat tidak lama bermain di tempat Astri, hatinya tidak tenang.
"Ais sudah cerita, tapi ibu ingin dengar cerita Ifat juga." kata Ibu lagi.
Ifat memandang wajah Ibu. Ibu tidak kelihatan sedang marah, bahkan tatapannya lembut sekali. Ifat ragu-ragu memulainya "Ais.. mengganggu Ifat."
Ifat cepat-cepat melanjutkan. "Ais menyuruh Ifat membantu membersihkan kamar, tapi Ifat sudah janji mau ke rumah Astri."
Ibu masih diam, menunggunya melanjutkan cerita.
"Ifat sudah bilang, akan bantu tapi nanti. Tapi Ais nggak mau dengar."
Ibu mengusap kepala Ifat "Ifat bilang baik-baik?"
Ia mengangguk, "Ais malah bilang Ifat malas, maunya main terus dan nggak pernah bantu Ibu. Ifat kan nggak begitu, Ifat bantu ibu di dapur, Ifat bantu Ais menyapu."
"Lalu Ifat marah?" tanya Ibu lagi.
Ifat mengangguk pelan. "Soalnya Ais nggak mau ngerti, janji Ifat kan penting juga. Ifat kan nggak mau dibilang pembohong sama Astri kalau nggak jadi datang."
"Kan bisa dibicarakan baik-baik, tidak perlu marah dan membanting pintu." kata Ibu.
Ifat tertunduk, malu. Rasanya memang menyesal, marah-marah seperti tadi siang.
"Habis Ais terus-terusan bilang Ifat anak malas. Padahal Ifat nggak pernah bilang Ais malas meskipun Ais jarang bantu Ibu di dapur."
Ais memang kurang suka pekerjaan dapur, tapi soal bersih-bersih, Ifat kalah jauh. Meskipun begitu, tetap saja Ifat tidak rela dibilang malas.
Ibu tersenyum "Ibu sudah bicara sama Ais soal ini. Ifat benar, Ifat tidak malas, cuma memang kalau main, Ifat suka lupa waktu kan?"
Ifat diam. Ibu tidak salah, Ifat suka lupa waktu kalau sedang main ke rumah teman, terutama Astri. Kadang sampai Ibu harus menelepon ke rumah Astri, mengingatkannya untuk segera pulang. Habis, waktu berjam-jam kan nggak terasa kalau kita sedang asik.
"Tapi Ifat kan sudah janji Bu." Ifat berusaha membela diri, walaupun dalam hati membenarkan kata-kata Ibu. Ibu sepertinya juga tahu apa yang Ifat rasakan, jadi Ibu cuma tersenyum.
"Ibu tidak meminta Ifat melanggar janji. Janji harus ditepati. Tapi Ifat harus belajar mengatur waktu juga, jangan sampai main setiap hari. Kalian kan harus belajar juga, dan Astri juga pasti harus membantu Ibunya sesekali." kata Ibu.
Ifat terdiam.
"Lalu soal marah. Bagaimana ?" tanya ibu.
Ifat menjawab pelan "Ifat kan nggak suka dibilang malas, Bu."
"Soal itu, Ais memang salah." kata Ibu "Ibu sudah bicarakan dengan Ais, dan Ais sudah berjanji akan minta maaf dan tidak lagi menyebut Ifat malas lagi."
Ibu menghela nafas "Tapi ini bukan pertama kalinya kan, Ifat marah begitu?"
(.. 2b continued.. )
Ifat membanting pintu dan berlari ke luar. Hampir saja ia menabrak Ibu yang membawa setumpuk cucian. "Ifat!" Ibu terkejut, tapi untung tidak sampai menjatuhkan cuciannya.
Masih terdengar suara Ais, kakaknya, yang mengadu kepada Ibu tentang pertengkaran mereka, sebelum Ifat keluar pagar dan menuju ke rumah Astri. Huh, dasar pengadu! batin Ifat makin jengkel.
Ais selalu saja menjengkelkan kalau sudah menyuruh-nyuruh Ifat melakukan ini dan itu. Hari ini Ais minta Ifat untuk membantunya merapikan kamar mereka, tapi Ifat sudah janjian dengan Astri. Ais memang rajin, dan Ifat bukannya tidak mau membantu, tapi ia sudah terlanjur berjanji untuk bermain dengan Astri siang ini. Mereka punya sesuatu yang mengasyikkan untuk dilakukan. Astri baru saja mendapatkan buku baru, penuh gambar dan cerita yang bagus, dan mereka berencana untuk membuat poster dari gambar di buku itu, untuk dipasang di kelas. Astri bahkan sudah berjanji untuk menyiapkan kertas dan cat air. Mereka berdua sudah tidak sabar untuk mengerjakannya, dan tidak ada yang mereka bicarakan selama seharian tadi selain ini.
Ais selalu saja tidak mau mengerti bahwa pekerjaan Ifat pun sama pentingnya dengan pekerjaan Ais. Entah kenapa, setiap kali selalu saja Ifat harus mengalah dan mengikuti perintah Ais. Padahal kan sebagai kakak mestinya Ais yang mengalah.
Malam harinya, ketika Ifat sudah berbaring di tempat tidur, Ibu masuk ke kamar dan duduk di tepi tempat tidur Ifat.
"Ifat mau cerita, kenapa tadi siang marah seperti itu?" tanya Ibu lembut.
Ifat duduk, dan menundukkan kepalanya. Tadi siang rasanya puas sekali berteriak pada Ais dan membanting pintu seperti itu, tapi sekarang, setelah semuanya berlalu, Ifat justru merasa sudah berbuat salah. Rasanya tidak enak sekali. Bahkan akhirnya Ifat tidak lama bermain di tempat Astri, hatinya tidak tenang.
"Ais sudah cerita, tapi ibu ingin dengar cerita Ifat juga." kata Ibu lagi.
Ifat memandang wajah Ibu. Ibu tidak kelihatan sedang marah, bahkan tatapannya lembut sekali. Ifat ragu-ragu memulainya "Ais.. mengganggu Ifat."
Ifat cepat-cepat melanjutkan. "Ais menyuruh Ifat membantu membersihkan kamar, tapi Ifat sudah janji mau ke rumah Astri."
Ibu masih diam, menunggunya melanjutkan cerita.
"Ifat sudah bilang, akan bantu tapi nanti. Tapi Ais nggak mau dengar."
Ibu mengusap kepala Ifat "Ifat bilang baik-baik?"
Ia mengangguk, "Ais malah bilang Ifat malas, maunya main terus dan nggak pernah bantu Ibu. Ifat kan nggak begitu, Ifat bantu ibu di dapur, Ifat bantu Ais menyapu."
"Lalu Ifat marah?" tanya Ibu lagi.
Ifat mengangguk pelan. "Soalnya Ais nggak mau ngerti, janji Ifat kan penting juga. Ifat kan nggak mau dibilang pembohong sama Astri kalau nggak jadi datang."
"Kan bisa dibicarakan baik-baik, tidak perlu marah dan membanting pintu." kata Ibu.
Ifat tertunduk, malu. Rasanya memang menyesal, marah-marah seperti tadi siang.
"Habis Ais terus-terusan bilang Ifat anak malas. Padahal Ifat nggak pernah bilang Ais malas meskipun Ais jarang bantu Ibu di dapur."
Ais memang kurang suka pekerjaan dapur, tapi soal bersih-bersih, Ifat kalah jauh. Meskipun begitu, tetap saja Ifat tidak rela dibilang malas.
Ibu tersenyum "Ibu sudah bicara sama Ais soal ini. Ifat benar, Ifat tidak malas, cuma memang kalau main, Ifat suka lupa waktu kan?"
Ifat diam. Ibu tidak salah, Ifat suka lupa waktu kalau sedang main ke rumah teman, terutama Astri. Kadang sampai Ibu harus menelepon ke rumah Astri, mengingatkannya untuk segera pulang. Habis, waktu berjam-jam kan nggak terasa kalau kita sedang asik.
"Tapi Ifat kan sudah janji Bu." Ifat berusaha membela diri, walaupun dalam hati membenarkan kata-kata Ibu. Ibu sepertinya juga tahu apa yang Ifat rasakan, jadi Ibu cuma tersenyum.
"Ibu tidak meminta Ifat melanggar janji. Janji harus ditepati. Tapi Ifat harus belajar mengatur waktu juga, jangan sampai main setiap hari. Kalian kan harus belajar juga, dan Astri juga pasti harus membantu Ibunya sesekali." kata Ibu.
Ifat terdiam.
"Lalu soal marah. Bagaimana ?" tanya ibu.
Ifat menjawab pelan "Ifat kan nggak suka dibilang malas, Bu."
"Soal itu, Ais memang salah." kata Ibu "Ibu sudah bicarakan dengan Ais, dan Ais sudah berjanji akan minta maaf dan tidak lagi menyebut Ifat malas lagi."
Ibu menghela nafas "Tapi ini bukan pertama kalinya kan, Ifat marah begitu?"
(.. 2b continued.. )