... *belum ada judul* ...
"Yaaa.. peermisiii.. bapak-bapak, ibu-ibu dan kakak-kakaaa...k.."
Sebuah suara cempreng menyentakkan kesadaranku. Rasa pening yang sedang berusaha kulupakan kembali lagi berlipat-lipat karena tidur yang gagal.
Ketika kubuka mata, seorang pengamen anak-anak berdiri tepat disampingku dan siap beraksi dengan kecrekan buatan sendiri.
"Sayaa akan mempersembahkan beberapa buah laguu.."
Crik.. crik.. suara tutup botol beradu..
Aku menahan nafas.
"Buan.. duuunggg... lautan apiii...." suara cempreng itu pun mulai mengalunkan sebuah lagu yang sulit dikenali nadanya. Wah, kalau di bis ini ada pengamat seni, mungkin dia bakal menuntut si pengamen itu karena sudah menghancurkan sebuah karya seni dengan semena-mena. Sementara itu, sesuatu dalam kepalaku mengetuk-ngetuk seirama bunyi kecrekan yang dimainkannya, mula-mula pelan, tapi lambat laun semakin keras tak tertahankan. Kupejamkan mata untuk mengurangi efek negatif gelombang suara cempreng itu, tapi ternyata tak banyak membantu.
Ketika akhirnya lagu pertama selesai dan si penyanyi berhenti sejenak untuk mengambil napas, aku buru-buru menggamit tangannya "Dek, maaf ya, nyanyinya agak geser sedikit ya? Saya lagi sakit kepala nih." kataku perlahan. Si pengamen tampak terkejut, mungkin ini pertama kalinya dia diprotes audiens, tapi sejurus kemudian sederet gigi putih tampak, ia nyengir malu dan mengangguk.
Beberapa lagu berikutnya tidak begitu mengganggu karena anak itu tidak hanya bergeser menjauh, tapi juga sedikit mengurangi volume suaranya. Ketukan di kepalaku mulai mereda. Alhamdulillah.. aku mengucap dalam hati.
"Yaaa.. demikiaan tadii.. persembahan dari kamii.. Kami mengharaap.. sedikit partisipasi dari bapak-bapak, ibu-ibu dan kakak-kakak sekaliaan..." katanya menutup aksi panggungnya.
Ketika kemudian dia melewati bangkuku dengan bekas bungkus permen untuk menerima 'sedikit partisipasi' dari para penumpang, ia kembali nyengir malu-malu.
"Makasih ya Dek." kataku sambil memasukkan selembar seribuan, tanda terima kasih karena sudah menenggang perasaanku. " Wah, saya yang minta maap mbak." katanya sambil mengangguk takzim, dan berlalu.
Sudah dua hari ini sebenarnya aku sering sekali sakit kepala, terutama setiap naik bis. Ibu sudah membujuk supaya aku libur saja, tapi dua hari ini ada kuliah penting. Akhirnya aku harus menahan rasa pening itu dan beraktifitas seperti biasa. Sejauh ini sih tidak terlalu masalah. Aku bisa mengikuti kuliah tanpa terganggu, paling-paling perjalanan berangkat dan pulang saja yang jadi cukup berat, apalagi kalau dapat rejeki pengamen bersuara fals seperti tadi. Aku jadi tersenyum sendiri, anak itu tadi lucu juga, dia jelas-jelas malu waktu aku minta dia pindah. Belum lagi gayanya yang sopan waktu minta maaf. Mengingatkanku pada adikku waktu dia kelas enam SD.
---
Pulang kuliah, hujan turun dengan deras. Mestinya musim penghujan sudah lama berakhir, dua minggu terakhir ini pun cuaca panas terik, tapi entah kenapa hari ini Jakarta diguyur hujan deras. Aku, dan banyak orang lagi, tidak siap menyambut hujan.. tanpa payung, tanpa jas hujan. Waduh, aku bawa buku pinjaman dari perpustakaan lagi, gerutuku dalam hati. Mendung masih tampak begitu tebal, entah kapan hujan ini akan reda.
"Payung mbak?" seorang anak, pengojek payung, menghampiriku dan menawarkan jasanya. Aku buru-buru menyambut tawarannya.
Anak kecil itu sigap membuka payungnya yang besar dan menyerahkannya ke tanganku. Kami pun berjalan menuju gang masuk kompleks.
Pengojek payung itu berjalan diam-diam di belakangku sambil melompat-lompat menikmati hujan, berhati-hati supaya cipratan airnya tidak mengenaiku. Rasanya aku kenal anak ini, kataku dalam hati, tapi di mana ya..
Anak itu terus asik melompat-lompat, bajunya segera kuyup dan menempel di badannya yang kurus. Aku berhenti dan menoleh "Sini, ikut payungan, jangan hujan-hujanan begitu." kataku iba.
Dia nyengir dan menggeleng "Enggak usah mbak, udah biasa kok." katanya. Sederet gigi putih itu membuatku ingat, ternyata anak ini pengamen bersuara cempreng yang kutemui di bis seminggu yang lalu.
"Eh, kamu.."
Dia nyengir lagi.. "Embak yang sakit kepala waktu itu ya?" katanya sebelum aku sempat bertanya, "Udah sembuh kan mbak?" Aku jadi ikut nyengir "Udah, Alhamdulillah."
Sebuah suara cempreng menyentakkan kesadaranku. Rasa pening yang sedang berusaha kulupakan kembali lagi berlipat-lipat karena tidur yang gagal.
Ketika kubuka mata, seorang pengamen anak-anak berdiri tepat disampingku dan siap beraksi dengan kecrekan buatan sendiri.
"Sayaa akan mempersembahkan beberapa buah laguu.."
Crik.. crik.. suara tutup botol beradu..
Aku menahan nafas.
"Buan.. duuunggg... lautan apiii...." suara cempreng itu pun mulai mengalunkan sebuah lagu yang sulit dikenali nadanya. Wah, kalau di bis ini ada pengamat seni, mungkin dia bakal menuntut si pengamen itu karena sudah menghancurkan sebuah karya seni dengan semena-mena. Sementara itu, sesuatu dalam kepalaku mengetuk-ngetuk seirama bunyi kecrekan yang dimainkannya, mula-mula pelan, tapi lambat laun semakin keras tak tertahankan. Kupejamkan mata untuk mengurangi efek negatif gelombang suara cempreng itu, tapi ternyata tak banyak membantu.
Ketika akhirnya lagu pertama selesai dan si penyanyi berhenti sejenak untuk mengambil napas, aku buru-buru menggamit tangannya "Dek, maaf ya, nyanyinya agak geser sedikit ya? Saya lagi sakit kepala nih." kataku perlahan. Si pengamen tampak terkejut, mungkin ini pertama kalinya dia diprotes audiens, tapi sejurus kemudian sederet gigi putih tampak, ia nyengir malu dan mengangguk.
Beberapa lagu berikutnya tidak begitu mengganggu karena anak itu tidak hanya bergeser menjauh, tapi juga sedikit mengurangi volume suaranya. Ketukan di kepalaku mulai mereda. Alhamdulillah.. aku mengucap dalam hati.
"Yaaa.. demikiaan tadii.. persembahan dari kamii.. Kami mengharaap.. sedikit partisipasi dari bapak-bapak, ibu-ibu dan kakak-kakak sekaliaan..." katanya menutup aksi panggungnya.
Ketika kemudian dia melewati bangkuku dengan bekas bungkus permen untuk menerima 'sedikit partisipasi' dari para penumpang, ia kembali nyengir malu-malu.
"Makasih ya Dek." kataku sambil memasukkan selembar seribuan, tanda terima kasih karena sudah menenggang perasaanku. " Wah, saya yang minta maap mbak." katanya sambil mengangguk takzim, dan berlalu.
Sudah dua hari ini sebenarnya aku sering sekali sakit kepala, terutama setiap naik bis. Ibu sudah membujuk supaya aku libur saja, tapi dua hari ini ada kuliah penting. Akhirnya aku harus menahan rasa pening itu dan beraktifitas seperti biasa. Sejauh ini sih tidak terlalu masalah. Aku bisa mengikuti kuliah tanpa terganggu, paling-paling perjalanan berangkat dan pulang saja yang jadi cukup berat, apalagi kalau dapat rejeki pengamen bersuara fals seperti tadi. Aku jadi tersenyum sendiri, anak itu tadi lucu juga, dia jelas-jelas malu waktu aku minta dia pindah. Belum lagi gayanya yang sopan waktu minta maaf. Mengingatkanku pada adikku waktu dia kelas enam SD.
---
Pulang kuliah, hujan turun dengan deras. Mestinya musim penghujan sudah lama berakhir, dua minggu terakhir ini pun cuaca panas terik, tapi entah kenapa hari ini Jakarta diguyur hujan deras. Aku, dan banyak orang lagi, tidak siap menyambut hujan.. tanpa payung, tanpa jas hujan. Waduh, aku bawa buku pinjaman dari perpustakaan lagi, gerutuku dalam hati. Mendung masih tampak begitu tebal, entah kapan hujan ini akan reda.
"Payung mbak?" seorang anak, pengojek payung, menghampiriku dan menawarkan jasanya. Aku buru-buru menyambut tawarannya.
Anak kecil itu sigap membuka payungnya yang besar dan menyerahkannya ke tanganku. Kami pun berjalan menuju gang masuk kompleks.
Pengojek payung itu berjalan diam-diam di belakangku sambil melompat-lompat menikmati hujan, berhati-hati supaya cipratan airnya tidak mengenaiku. Rasanya aku kenal anak ini, kataku dalam hati, tapi di mana ya..
Anak itu terus asik melompat-lompat, bajunya segera kuyup dan menempel di badannya yang kurus. Aku berhenti dan menoleh "Sini, ikut payungan, jangan hujan-hujanan begitu." kataku iba.
Dia nyengir dan menggeleng "Enggak usah mbak, udah biasa kok." katanya. Sederet gigi putih itu membuatku ingat, ternyata anak ini pengamen bersuara cempreng yang kutemui di bis seminggu yang lalu.
"Eh, kamu.."
Dia nyengir lagi.. "Embak yang sakit kepala waktu itu ya?" katanya sebelum aku sempat bertanya, "Udah sembuh kan mbak?" Aku jadi ikut nyengir "Udah, Alhamdulillah."